Surat Untuk Indonesia

Surat Untuk Indonesia 1

Hey! Indonesia!
Aku ingat punya Kakek di sebuah desa.
Sawahnya hijau luas terbentang, ada sapi dan kambing di kandang belakang rumah.
Pemandangannya indah berlatar lekukan pegunungan yang berjejer rapi dan menyejukan.
Udaranya, sudah pasti menyegarkan jiwa mereka yang kering meski lelah mengayuh sepeda berkeliling.

Tapi itu dulu, Indonesia!
Sekarang, terlihat hijau dengan cat-cat tembok bangunan yang menjulang tinggi.
Sapi dan kambing itu sekarang hanya sebuah monumen di ujung jalan.
Pemandangannya tower pemancar dan kabel listrik yang melintang sebagai tempat bermalam burung di udara yang lelah terbang seharian, sungguh kasihan.
Udara menyesakan jiwa dari cerobong pabrik dan juga knalpot kendaraan bermotor membuat semakin kering jiwa yang haus, lelah seharian bekerja.

Hey! Indonesia!
Aku dulu bisa bermain bebas apa saja di halaman belakang rumah.
Bermain bersama teman tanpa takut kena panas dan hujan.
Bermain egrang, betengan, petak umpet, yang enggak perlu biaya mahal namun tetap seru dimainkan.
Sesudahnya aku makan sate lontong dibungkus daun pisang. Kadang aku juga membeli ketan lopis, grontol dan thiwul.
Di sekolah aku menari gembira, jaipong dan gambyong.
Di kampung aku biasanya kerja bakti, gotong royong, ikut Ibu arisan atau ke posyandu.
Di waktu tertentu aku ikut festival dan memakai baju adat daerah yang tersebar di seluruh Indonesia! Kadang aku pakai kebaya, ulos atau baju bodo.

Aku ingat tapi kemana itu semua, Indonesia!
Aku rindu tapi aku tak bisa kembali ke masa itu kan, Indonesia!

Indonesia!
Aku menyesal membiarkanmu kehilangan itu semua, Indonesia!
Hingga akhirnya aku hanya bisa merindu akan masa lalu, Indonesia!

Ahh, andai saja aku mau berubah. Mungkin aku masih bisa bertemu mereka semua.

Dariku, yang merindukan Indonesia tempo doeloe

Surat Untuk Indonesia 2

Surat ini kutujukan buat diriku dan mereka yang merasa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Maafkan kami Indonesia,
Suara kami nyaring berdenting ketika mengucap janji yang serasa manis sampai dibibir.
Kami hanya berucap tanpa kami mau bersikap.
Kami hanya menyeru tanpa kami mau melakukan sesuatu.
Kami hanya lantang bersuara tanpa kami peduli dengan rasa dan karsa.

Maafkan kami Indonesia,
Banyak hal terjadi dan kami tak peduli lagi.
Kami hanya mampu berteriak lantang mengkritik ketika kau tertatih berdiri.
Kami hanya mampu berteriak lantang memprotes ketika kau tak pernah terlihat sukses.
Kami hanya selalu berteriak lantang turun ke jalan bertingkah seperti anak kecil yang tak mau berhenti menyusu dan disuapi.

Maafkan kami Indonesia,
Sekolah kami tinggi tapi tak pernah kembali.
Pengetahuan kami banyak tapi tak bergerak.
Peduli kami mati, membiarkan identitas diri terganti.

Maafkan kami Indonesia,
Tak pernah mengenalmu lebih dalam
Terlalu asyik bersandar dalam lamunan.
Tak pernah mengerti betapa Tanah Air ini kaya
Terlalu sering menghabiskan dalam hingar bingar kemajuan jaman.
Tak pernah menghargai jati diri
Terbuai dalam arus modernisasi.

Indonesia, taukah kau.
Kau tak pernah salah dalam segala hal.
Kami yang tak pernah memberimu banyak cinta. Cinta yang tulus tanpa pamrih.
Kau tak pernah salah, kami yang terus menghabiskan.
Kau tak pernah salah, kami yang selalu menuntut.

Indonesia, taukah kau.
Indonesia adalah aku. Aku adalah Indonesia.
Kalau kau ingin Indonesia berubah maka sejatinya akulah yang mesti berubah.
Kalau kau ingin Indonesia berbenah maka seharusnya akulah yang mesti berbenah.

Indonesia, kini aku tau.
Tuhan Allah semesta alam memilihkan Indonesia untuk ku, supaya aku dapat berbenah, supaya aku mampu berubah untukmu Indonesiaku.

Surat Untuk Indonesia 3

Ketika ku lahir, aku tak pernah bisa memilih di mana aku hendak dilahirkan. Pun begitu aku tak pernah bisa memilih oleh siapa aku dibesarkan.

Aku tak pernah memilih ketika Tuhan Allah semesta alam meniupkan nafas untuk ku dalam rahim seorang perempuan Jawa yang tinggal di Negara bernama Indonesia.

Dengan kasih dan sayang aku dibesarkan. Dalam balutan keberagaman aku dibina dalam keluarga yang berbeda latar belakang. Kakek dari Ayahku seorang muslim, Nenek dari Ayahku seorang Nasrani. Kakek dari Ibuku seorang tentara muslim, Nenek dari Ibuku ada dua yang tak pernah aku lihat satu pun ketika aku lahir.
Setiap hari ketika aku kecil, ada kakek tetangga sering meneriakan pekik “Merdeka” tiap kali bertemu anak-anak seusiaku. Dengan tangan dikepal dan dijunjung tinggi ke atas.
Sudah lewat dari masa berperang tentunya. Karena aku lahir di era 80 an. Namun Kakek tetangga tak pernah berhenti mengajak anak-anak seusiaku untuk selalu meneriakkannya.

Baik di lingkungan aku tinggal, maupun di sekolah aku berada dalam balutan keberagaman yang sangat kental. Namun tak pernah ada perselisihan lantaran kami berbeda. Harmonis dalam keberagaman, kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehangatan dalam keluargaku.

Beranjak dewasa hingga kini, aku baru menyadari bahwa bukan tanpa maksud Tuhan Allah semesta alam memilihkan ku Negara Indonesia sebagai tanah kelahiranku.
Bersyukur dan bersyukur dengan apa yang Tuhan sudah berikan untuk ku. Aku boleh melihat Indonesia yang penuh warna. Aku tidak heran dengan keberagaman yang nampak begitu nyata, namun aku begitu pilu mendengar perselisihan dimana-mana. Tidak kah kau tau, bahwa kita punya bumi yang sama, pun demikian dengan matahari, lantas tidak kah kau malu masih meributkan tentang perbedaan yang ada kalau Tuhan yang mencipta semua alam ini hanya satu.

Berdamailah dan sejuklah kembali Indonesiaku. Aku merindu Merah tetap Merah, Putih tetap Putih dan Berbeda tetap menjadi satu dalam genggaman Indonesiaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.